BERITABRANTAS.CO.ID – Di balik deretan pabrik megah yang membentang dari kawasan KIIC hingga Surya Cipta, geliat industri di Karawang menjadi magnet ribuan pencari kerja. Namun, tak semua cerita berujung pada kisah sukses.
Di tengah sistem perekrutan resmi yang seharusnya transparan dan akuntabel, masih ada lorong gelap bernama “jalan tikus” dalam penerimaan tenaga kerja.
“Kalau tidak punya orang dalam, bisa bertahun-tahun nganggur,” ujar Ardi (24), warga Telukjambe yang telah melamar ke lebih dari 10 perusahaan.
Ia mengaku sempat nyaris menyerah sebelum akhirnya diterima bekerja di sebuah perusahaan otomotif, melalui jasa calo yang memintanya membayar Rp5 juta sampai 20 juta.
Fenomena ini bukan rahasia umum. Di warung-warung kopi dekat kawasan industri, cerita tentang “jalur belakang” seakan menjadi bagian dari percakapan sehari-hari.
“Ada juga yang lewat LSM, oknum Ormas, sampai staf outsource yang bisa masukin anak orang ke pabrik,” tutur salah seorang pelamar yang enggan disebutkan namanya.
Menurut data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Karawang, hingga pertengahan 2025 terdapat lebih dari 1.700 perusahaan yang beroperasi, dengan puluhan ribu lowongan kerja tiap tahunnya. Namun, transparansi perekrutan masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.
Wahyu Heryanto, SE, MM, pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Singaperbangsa Karawang (Unsika), menyatakan bahwa praktik seperti ini memperlihatkan lemahnya kontrol sosial dan belum optimalnya pengawasan pemerintah terhadap proses rekrutmen.
“Ketika sistem tidak transparan, maka praktik percaloan tumbuh subur. Ini bukan semata soal moral, tapi sistemik,” katanya.
Pemerintah Kabupaten Karawang sebenarnya sudah membentuk Karawang Integrated Talent Management System (KITMS), portal rekrutmen digital yang terintegrasi dengan perusahaan.
Namun, implementasinya masih belum menyeluruh. Banyak perusahaan besar masih menyerahkan urusan rekrutmen ke pihak ketiga, dan di situlah celah rawan penyimpangan terbuka.
Di sisi lain, keberadaan Lembaga Swadaya Masyarakat dan organisasi kepemudaan yang terlibat dalam penyaluran tenaga kerja juga menjadi dilema. Di satu sisi mereka membantu warga lokal mendapatkan pekerjaan, tapi di sisi lain tidak sedikit yang menjadikannya ladang bisnis.
“Kalau mau memberantas jalan tikus, ya buka jalan resminya selebar mungkin dan jaga agar tetap bersih,” ujar Dedi, mantan pengurus LSM lokal.
Menurutnya, pemerintah daerah perlu memperkuat sinergi dengan perusahaan dalam menerapkan rekrutmen berbasis merit, bukan relasi. Industri Karawang tetap akan menjadi primadona.
Tapi jika sistem penerimaan tenaga kerja masih dibiarkan berkabut, maka harapan generasi muda Karawang untuk tumbuh bersama industrialisasi akan terhambat.
Jalan tikus mungkin memudahkan sebagian, tapi dalam jangka panjang bisa menjadi jebakan yang merusak kepercayaan publik terhadap dunia kerja.
Bila ingin versi cetak dengan grafis tambahan atau dimodifikasi untuk media sosial, silakan beri arahan lebih lanjut. (*)