BERITABRANTAS.CO.ID – Di sepanjang pesisir utara Kabupaten Karawang, kehidupan para nelayan terus bergulir di tengah tantangan zaman. Dengan kapal-kapal kecil dan alat tangkap tradisional seperti jaring dan bubu, mereka menggantungkan hidup pada laut yang kian tak menentu.
Meski modernisasi telah menyentuh berbagai sektor, sebagian besar nelayan Karawang masih bergantung pada cara-cara lama untuk mencari ikan.
Menurut data Dinas Perikanan Karawang, per tahun 2024 terdapat lebih dari 3.299 nelayan aktif yang tersebar di 11 desa pesisir. Sayangnya, sebagian besar masih menggunakan kapal kecil dan alat tangkap tradisional, sehingga produktivitas perikanan laut sulit berkembang. Hasil tangkapan hanya menyentuh angka 9.400 ton, masih jauh dari potensi maksimal yang bisa diraih.
“Karawang memiliki sumber daya laut yang kaya, namun belum ditunjang oleh teknologi tangkap yang memadai. Sebagian besar nelayan masih mengandalkan metode warisan nenek moyang yang tak efisien untuk kebutuhan ekonomi saat ini,” jelas Dr. Ridwan Mahfud, pakar kelautan dari Universitas Padjadjaran.
Ia menekankan bahwa modernisasi peralatan tangkap dan pelatihan rutin adalah syarat utama jika nelayan Karawang ingin naik kelas.
Ketergantungan pada musim dan cuaca juga membuat kehidupan mereka rapuh. Saat angin barat atau ombak tinggi datang, tak sedikit nelayan terpaksa berdiam diri di darat.
Beberapa dari mereka bahkan harus meminjam uang dari rentenir untuk memenuhi kebutuhan hidup. Situasi ini tak jarang menjerumuskan mereka dalam jerat utang berkepanjangan.
Di sisi lain, para istri nelayan tak tinggal diam. Mereka mulai diberdayakan dalam program pelatihan UMKM berbasis hasil laut, seperti olahan rajungan, kerupuk ikan, hingga pemanfaatan mangrove.
Program bank sampah di Desa Tanjungpakis juga memberi pemasukan tambahan meski dalam jumlah terbatas.
Untuk mendukung kesejahteraan nelayan, Pemkab Karawang dan Kementerian Kelautan telah menggulirkan program sertifikasi keselamatan dan perlindungan sosial melalui BPJS Ketenagakerjaan.
Hingga pertengahan 2025, tercatat lebih dari 3.400 nelayan telah terdaftar. Namun, nelayan juga menghadapi ancaman yang tak terlihat, seperti pencemaran laut dari industri. Tumpahan minyak yang pernah mencemari perairan Karawang membuat nelayan tidak bisa melaut selama berminggu-minggu.
“Kalau laut sudah tercemar, bukan hanya ikan yang hilang. Ekosistem rusak, dan nelayan kehilangan harapan. Sayangnya, pemulihan sering kali lambat,” tambah Dr. Ridwan.
Di tengah tekanan hidup dan industrialisasi, nilai-nilai budaya masih tetap mereka jaga. Ritual Nadran, tradisi turun-temurun sebagai bentuk syukur dan doa keselamatan di laut, masih rutin digelar setiap tahun. Upacara ini menjadi pengingat bahwa laut bagi mereka bukan sekadar sumber penghidupan, tapi juga warisan yang harus dihormati.
Kehidupan kaum nelayan Karawang adalah kisah ketabahan yang tak pernah surut. Meski dihimpit oleh berbagai tantangan, mereka tetap berlayar, menggantungkan harapan pada gelombang yang terus bergulung, dengan keyakinan bahwa laut, pada akhirnya, selalu memberi jalan bagi yang bersabar. (SZ)