BERITABRANTAS.CO.ID Langit Ciampea menjadi saksi bisu akhir pengabdian seorang penerbang ulung TNI Angkatan Udara, Marsekal Pertama TNI Fajar Adriyanto.
Ia gugur dalam kecelakaan pesawat latih microlight Quicksilver GT500 milik Federasi Aero Sport Indonesia (FASI), Sabtu pagi, 3 Agustus 2025.
Marsma Fajar bukanlah nama asing di dunia kedirgantaraan Indonesia. Pria kelahiran Bandung, 20 Juni 1970, ini merupakan lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU) angkatan 1992 dan dikenal luas sebagai salah satu penerbang tempur F-16 terbaik dengan call sign “Red Wolf”.
Jejak kariernya dipenuhi dedikasi dan keberanian, salah satunya saat terlibat dalam insiden intersepsi pesawat tempur Amerika Serikat di langit Bawean tahun 2003.
Sepanjang kariernya, ia pernah menjabat sebagai Komandan Skadron Udara 3 di Lanud Iswahjudi, Komandan Lanud Manuhua di Biak, hingga Kepala Dinas Penerangan TNI AU.
Ia juga sempat memimpin Pusat Potensi Dirgantara (Puspotdirga) TNI AU sebelum menjabat sebagai Aspotdirga Kaskoopsudnas dan terakhir sebagai Kapoksahli Kodiklatau sejak Desember 2024.
Fajar juga dikenal sebagai sosok yang bersahaja dan penuh semangat membina generasi muda dirgantara. Di luar ruang kemiliteran, ia meraih gelar magister bidang Manajemen Bencana dari Universitas Pertahanan dengan predikat tesis terbaik.
Namun, takdir berkata lain. Saat menjalani latihan profisiensi di bawah naungan FASI, pesawat yang ia terbangkan bersama seorang co-pilot mengalami kecelakaan dan jatuh di dekat Tempat Pemakaman Umum Astana, Desa Benteng, Ciampea, Bogor.
Co-pilot berhasil selamat meski mengalami luka berat, sementara Marsma Fajar dinyatakan meninggal dunia di lokasi kejadian.
Kepergiannya meninggalkan duka mendalam di lingkungan TNI AU dan masyarakat kedirgantaraan Indonesia. Sosoknya dikenang bukan hanya karena kepiawaiannya mengudara, tetapi juga karena dedikasi tanpa henti untuk negeri, hingga nafas terakhirnya. (*)